PENDAHULUAN
A.
Perkembangan Penamaan Manajemen Operasional
Manajemen Operasional memiliki tiga tahapan perkembangan teoretik dan
setiap pase perkembangan dimaksud memiliki nama yang khas. Pada mulanya bernama
Manajemen Pabrik (Manufacturing
Management), kemudian menjadi Manajemen Produksi (Production Management) dan terakhir bernama Manajemen Operasional (Operations Management).
1.
Manajemen Pabrik
Menurut
Adam dan Ebert (1992) manajemen pabrik lahir bersamaan dengan lahirnya revolusi
industri di Inggris sekitar tahun 1785 dan dipicu oleh pemikiran Adam Smith,
terutama tentang spesialisasi (asas
pembagian kerja) dan efisiensi ekonomi.
Manajemen Pabrik diperlukan karena revolusi industri telah menggeser
teknik pengolahan manual atau kerja tangan (hand-making production system)
menjadi kerja mesin (machine-made production system).
Pemakaian mesin uap di pabrik yang ada di Inggris pada waktu itu (pada mulanya di pabrik tekstil) telah melahirkan perubahan:
a. Mengganti proses kerja tangan dengan kerja mekanik (memakai mesin).
b. Mengubah
sistem produksi pesanan menjadi produksi massa untuk memenuhi
permintaan pasar yang luas,
c. Perubahan lokasi
produksi dari rumah tangga (home industry) ke perusahaan pabrik (manufacturing company).
d. Perubahan sumber tenaga kerja dari anggota rumah tangga (keluarga) menjadi
tenaga dari pasar tenaga kerja.
Penggunaan
tenaga kerja manusia dalam jumlah yang besar di pabrik yang berasal dari luar rumah tangga memerlukan metode pengelolaan tenaga kerja manusia. Perubahan terjadi, baik
pada hubungan kerja maupun cara pengupahannya. Perubahan ini menyebabkan
diperlukannya Manajemen Pabrik.
Manajemen Pabrik pada dasarnya merupakan metode pengorganisasian
faktor-faktor produksi, termasuk sumber daya manusia, dalam usaha menghasilkan
produk barang secara massal dengan efisien. Tekanan utama Manajemen Pabrik terletak pada usaha menghasilkan produk
barang dengan efisien. Oleh karena itu orientasinya masih tunggal, yaitu
berproduksi untuk memperoleh keunggulan bersaing berdasarkan basis biaya. Manajemen
Pabrik ini berlangsung sampai sekitar tahun 1930-an, yaitu sampai dengan
kebangkitan industri di Jerman, khususnya industri mobil (Mercedez dan Mercy) yang
mengutamakan mutu.
2.
Manajemen Produksi (Production
Management)
Era Manajemen Produksi
mulai sejak 1930-an sampai 1970-an. Manajemen Produksi lahir sejak pemikiran Taylor
yang terkenal dengan sebutan manajemen ilmiah (scientific management)
diterima secara luas dan diterapkan di lapangan produksi. Pada mulanya,
produksi dengan orientasi pada mutu dipelopori oleh Jerman sehingga Jerman
diterima sebagai pelopor Manajemen Produksi. Era ini berlangsung hingga Jepang
muncul sebagai salah satu negara industri berteknologi tinggi dan menawarkan
gaya manajemen khas Jepang, yaitu Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality
Management, TQM) dan Just In Time Production System (JIT) pada
awal tahun 1970-an. Gagasan Taylor mengenai produksi terutama
bertujuan untuk menghilangkan gerakan-gerakan yang tidak berguna, yaitu gerakan yang tidak memberikan nilai tambah
pada produk yang dihasilkan. Pada dasarnya
Manajemen Produksi juga melulu mengkaji tata produksi barang dan belum menaruh perhatian pada
produksi jasa. Namun demikian orientasi Manajemen Produksi sudah lebih luas
daripada Manajemen Pabrik. Manajemen Produksi sudah memperhatikan soal kualitas
keluaran disamping pada tekanan biaya atau efisiensi ekonomi. Sehubungan dengan
itu, maka orientasi Manajemen Produksi lazim disebut Q and C oriented
(Quality and cost orientation).
Pada dasarnya Manajemen Produksi merupakan metode pengorganisasi-an
faktor-faktor produksi, termasuk sumber daya manusia, untuk digunakan dalam
proses menghasilkan produk barang secara massal yang memenuhi stanadard mutu
tertentu secara efisien.
3. Manajemen Operasional (Operations Management)
Manajemen Operasional lahir
sejak 1970-an hingga sekarang. Sasaran yang hendak dicapai Manajemen
Operasional ialah mewujudkan efisiensi ekonomi (cost minimization)
dalam proses produksi, baik barang maupun jasa,
kualitas yang tinggi (high quality), dapat diserahkan ke
pasar dalam waktu yang cepat (speed of delivery), dan peralatan
produksi dapat dengan segera dialihkan untuk mengerjakan produk lainnya (flexibility).
Dengan demikian, Manajemen Operasional sudah berbeda secara mendasar dengan
Manajemen Pabrik dan Manajemen Produksi. Manajemen Operasional mengkaji
produksi barang dan jasa, sedang Manajemen Pabrik dan Manajemen Produksi melulu
membicarakan produksi barang. Disamping itu, orientasi Manajemen Operasional
sudah semakin luas dan lazim disebut memiliki orientasi pada biaya, mutu,
kecepatan penyerahan, dan keluwesan proses (QCDF Orientation).
Kepeloporan Jepang dibidang modernisasi Manajemen Produksi dipimpin oleh Toyota
yang menekankan proses pada usaha menghasilkan produk yang bermutu sesuai
pengharapan konsumen. Perwujudan kualitas adalah tanggung jawab semua personil,
semua jabatan, dan semua proses. Dengan demikian, tanggungjawab atas mutu
bergeser dari para inspektur mutu ke pada segenap personil perusahaan. Sejak saat
itu, Jepang mengenalkan konsep pengawasan melekat (built-in controlling)
dan perbaikan terus menerus (keizen, continuous improvement). Ke
dua hal itu harus dilakukan oleh perusahaan sebagai antisipasi terhadap
tuntutan konsumen atas mutu keluaran yang semakin meningkat. Tiap pekerja
dididik dan dilatih untuk menghidarkan proses dari cacat (poke yoke, atau
to avoid mistake) dan mengawasi serta memeriksa sendiri pekerjaannya
menuju terwujudnya proses dan keluaran bebas cacat (zero defect).
Para manajer dilatih untuk dapat menerapkan pengendalian proses dengan menggunakan
metode statistik (statistical process control), kemudian setiap
manajer melatih bawahannya masing-masing sehingga seluruh lapisan personil
perusahaan paham dan dapat menerapkan metode pengendalian mutu dan proses
secara statistik. Program pelatihan dilakukan secara berkesinambungan sehingga
pemahaman dan penguasaan atas metode selalu segar. Metode produksi di Jepang
ini kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh Barat (Amerika Serikat dan Eropah).
Sekalipun Manajemen Produksi dan Manajemen Operasional lazim dipakai secara
bergantian untuk menyatakan sesuatu yang sama, namun Manajemen Operasional ini
lebih luas cakupan dan orientasinya. Tepat kiranya untuk menamakan Manajemen
Operasional ini sebagai Manajemen Produksi Modern (Modern Production
Management).
B.
Definisi dan Ruang Lingkup Manajemen Operasional
Chase, Aquilano dan Jocobs (2007); Russel dan Taylor (2000) serta Adam dan
Ebert (1992) menyatakan bahwa Manajemen Operasional (Operations Management) adalah pendisainan secara sistematik, mengarah-kan dan
mengendalikan proses pengolahan masukan menjadi keluaran, baik berbentuk jasa maupun barang, guna memenuhi permintaan pelanggan internal dan eksternal. Selanjutnya, Heizer dan Render (2004) menyatakan, Manajemen Operasional (Operations
Management) adalah serangkaian aktivitas untuk menciptakan kenaikan nilai tambah atau value added atas pengolahan bahan menjadi keluaran, baik berupa barang atau pun jasa.
Perbedaan makna dari
dua bentuk definisi yang disajikan di atas adalah sebagai berikut:
Pada definisi yang pertama, tekanan Manajemen Operasional dilakukan pada
periode produksi bermula dari proses pendisainan sampai produk atau jasa
selesai diolah dan kemudian diserahkan kepada pelanggan. Pelanggan yang akan
dilayani dibedakan atas pelanggan internal dan pelanggan eksternal. Pelanggan
internal ialah tahapan proses (departemen) yang akan memakai keluaran dari
tahapan proses (departemen) sebelumnya sebagai masukan (input). Pelanggan eksternal
ialah pelanggan (konsumen) yang akan memakai produk yang dihasilkan atau jasa
yang disediakan untuk memenuhi kebutuhannya.
Pada definisi yang kedua, tekanan Manajemen Operasional dilakukan pada proses
produksi untuk menciptakan nilai tambah dari produk atau jasa yang dihasilkan atau
disediakan. Produksi dianggap berhasil jika nilai keluaran yang dihasilkan
lebih besar dari nilai masukan yang digunakan. Misalnya, untuk memproduksi 5
meter kain dipergunakan masukan dengan biaya total Rp250.000. Produk kain itu
dijual Rp450.000. Ini berarti, dicapai produktivitas sebesar
Rp450.000/Rp250.000 = 1.80. Kenaikan nilai yang dicapai adalah 80 persen dan
surplus itu merupakan keuntungan bagi produsen.
Ruang lingkup Manajemen Operasional seperti yang tercermin pada definisi
pertama mencakup:
a. Pendisainan, yaitu merancang produk atau jasa yang akan dibuat. Disain ini
menjadi dasar untuk menentukan: bahan yang dibutuhkan, mesin atau peralatan
produksi yang diperlukan, tenaga kerja yang disyaratkan mengerjakannya, bentuk,
kualitas dan harga dari barang atau jasa yang bersangkutan.
b. Pengadaan masukan, yaitu aktivitas menyediakan faktor-faktor produksi yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan pengerjaan produk atau jasa yang bersangkutan.
c. Pengolahan, yaitu kegiatan mengolah masukan dalam suatu proses dengan
menggunakan metode tertentu hingga menjadi keluaran.
d. Penyerahan produk atau jasa kepada pelanggan.
C.
Faktor Produksi
Secara umum dalam teori ekonomi dikenal empat macam faktor produksi, yaitu:
Land (tanah dan segala sesuatu yang
bersumber dari bumi, seperti bahan baku, minyak bumi, tanah lokasi, dan
lain-lain), Labor (tenaga kerja
manusia, biasanya dalam artian tenaga kerja kasar), Capital (modal uang dan juga peralatan produksi atau mesin-mesin),
dan Skill (tenaga ahli, biasa-nya
mencakup ahli manajemen dan ahli rekayasa).
Chase, Aquilano dan Jacobs (2007) menggolongkan faktor produksi itu menjadi
5-P Manajemen Operasional, yaitu:
a. People (sumber daya manusia, selaras dengan labor
dimaksud di atas).
b. Parts (sumber daya bahan, sejalan dengan makna land di atas).
c. Plants (sumber daya alat atau mesin produksi, sejalan dengan capital di atas).
d. Process (metode atau teknologi yang digunakan dalam kegiatan pengo-lahan).
e. Planning and Control (perencanaan dan pengendalian, atau keahlian mengelola, mulai dari pase
perencanaan sampai pada pase pengenda-lian. Sejalan dengan makna Skill di atas).
Kemampuan menghasilkan nilai tambah dari proses produksi yang dilaksanakan
tergantung pada skill yang dimiliki,
atau keahlian untuk melaku-kan perencanaan dan pengendalian. Sekalipun bahan
sudah tersedia, mesin pabrik sudah dibangun dan SDM sudah diadakan, tetapi
apabila tidak tersedia tenaga ahli, maka proses produksi sulit untuk
menciptakan produk yang bermutu baik dengan harga yang terjangkau.
D.
Fungsi dan Sistem Produksi
Fungsi
produksi merupakan fungsi yang ada disebuah perusahaan manufaktur atau jasa
yang mengemban tugas dan peran untuk mengolah
masukan menjadi keluaran. Proses pengolahan dimaksud menciptakan kegunaan
bentuk (form utility). Dalam keberadaan seperti itu, maka fungsi
produksi atau operasi menjadi tempat terjadinya proses pengubahan secara fisik
atas sumber daya produksi (input) menjadi keluaran (output). Secara
umum, fungsi produksi ini terbangun atas empat elemen (subsystem),
yaitu subsistem masukan (input subsystem), subsistem proses (conversion
or processing subsystem), subsistem keluaran (output subsystem),
dan sub-sistem umpan balik (feed-back or production information subsystem). Dengan demikian, sistem produksi adalah elemen terkait yang ada pada
fungsi produksi yang memiliki peranan tertentu dan harus bekerjasama
untuk menjalankan proses produksi guna menghasilkan
keluaran (barang, jasa, atau informasi).
Keempat jenis subsistem dimaksud dapat diamati dalam
gambar di bawah. Dalam gambar yang disajikan terdapat tambahan masukan, yaitu informasi. Dalam hal ini, informasi
adalah metode atau teknologi yang terkait dengan proses produksi serta data
mengenai kebutuhan dan keinginan pelanggan. Informasi yang ada itu dijadikan
masukan dalam aktivitas pengolahan. Juga terlihat keluaran dalam bentuk
informasi. Produk informasi ini seperti misalnya: Buku, majalah, hasil
penelitian dan sebagainya. Sebelum-nya produksi informasi ini dimasukkan
sebagai bagian dari jasa. Tetapi sekarang ini, sudah dipandang sebagai tipe
keluaran yang berdiri sendiri.
E.
Metode dan Tujuan Produksi
Metode produksi dibedakan atas:
1.
Fabrikasi, menyempurnakan bentuk dari pengolahan bahan
(menciptakan kegunaan bentuk atau form utility).
2.
Transportasi, memindahkan barang atau manusia dari
tempat asal ke tempat tujuan yang lebih tinggi nilainya (menciptakan kegunaan
tempat, place utility).
3.
Agraris, menciptakan produk melalui pengolahan alam
(pertanian, perikanan darat).
4.
Ekstraktif, menciptakan produk melalui kegiatan
melepaskan keterikatan produk itu dari alam (pertambangan, perikanan laut,
kehutanan).
5.
Eceran (Retailer),
menciptakan kegunaan melalui pertukaran. Kegunaan yang diciptakan ialah
kegunaan kepemilikan (ownership utility)
6.
Penyimpanan (storage),
menciptakan kegunaan melalui akumulasi sediaan sampai sediaan itu
didistribusikan ke pelanggan atau pasar. Kegunaan ini diciptakan oleh
pergudangan dan menghasilkan kegunaan waktu (time utility).
Tujuan berproduksi mencakup:
1
Untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh
pelanggan.
2
Untuk menunjang aktivitas peningkatan nilai tambah.
3
Untuk meningkatkan kemakmuran
4
Untuk menghasilkan laba bagi produsen.